DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF OMNIBUS LAW TERHADAP MASYARAKAT

 DAMPAK POSITIF

Bank Dunia ternyata tidak hanya menjabarkan dampak positif bagi hadirnya Omnibus Law di Indonesia dalam laporannya bertajuk 'Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi' yang dirilis Juli lalu.

Dalam laporan tersebut, lembaga dunia ini ternyata memberikan pandangan terkait dengan dampak negatif dari Omnibus Law Cipta Kerja.

"RUU ini juga mengusulkan reformasi yang dapat mengakibatkan dampak buruk, terutama dalam lingkungan ekonomi saat ini," tulis Bank Dunia di dalam laporannya.

Misalnya, usulan di dalam RUU ini mengenai relaksasi persyaratan untuk perlindungan lingkungan hidup akan merusak kekayaan sumber daya alam yang sangat penting bagi mata pencaharian banyak orang dan dapat berdampak negatif terhadap investasi.

Meskipun, upaya Pemerintah di bidang ini ditargetkan untuk mengurangi penundaan perizinan.

"Namun demikian, penyebab keterlambatan dan ketidakpastian untuk mendapatkan izin lingkungan hidup adalah proses yang rumit dan pelaksanaannya yang sewenang-wenang dan korup, daripada perlindungan yang termaktub di dalam Undang-Undang Lingkungan hidup [2009]," ungkap Bank Dunia.

Saat itu, Bank Dunia menyoroti RUU ini menghapus prinsip keselamatan dari beberapa undang-undang yang mengatur perizinan kegiatan dan produk-produk yang berisiko tinggi, seperti obat-obatan, rumah sakit, dan konstruksi bangunan, dan tidak lagi menganggapnya sebagai risiko yang tinggi.

Selanjutnya, beberapa revisi di dalam RUU ini yang diusulkan untuk UU Ketenagakerjaan dapat mengurangi perlindungan bagi para pekerja.

Usulan pembebasan dari kepatuhan terhadap upah minimum yang meluas dan reformasi untuk menghapuskan pembayaran pesangon tanpa adanya usulan yang sepenuhnya disempurnakan untuk tunjangan pengangguran yang efektif dan skema asuransi, dapat melemahkan perlindungan bagi para pekerja dan meningkatkan ketimpangan pendapatan.

"Ini khususnya bermasalah pada saat pengangguran meningkat karena krisis Covid-19," tulis Bank Dunia.

Pada saat yang sama, Bank Dunia menilai, reformasi undang-undang ketenagakerjaan kurang penting dibandingkan reformasi perdagangan dan investasi untuk merangsang investasi baru.

Peraturan perundang-undangan dan kebijakan terbaru lainnya, dari pertambangan hingga pertanian, juga berisiko menimbulkan dampak negatif limpahan aktivitas ekonomi (spillover) bagi masyarakat.

Di sisi lain, Bank Dunia menilai RUU ini memiliki potensi untuk mendukung pemulihan pascaCOVID-19 dalam waktu dekat, seraya menetapkan fondasi untuk pertumbuhan jangka panjang yang lebih cepat.

Catatan Bank Dunia

Menurut Bank Dunia, ada setidaknya 3 hal positif dari RUU Omnibus Law yang saat itu masih dibicarakan di DPR.

Pertama, RUU ini akan memberi isyarat kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis dengan menghapus pembatasan investasi, termasuk praktik diskriminatif terhadap investor asing dalam undang-undang sektoral. Penghapusan batasan bagi modal asing dapat memicu tambahan investasi sebesar US$6,8 miliar.

Kedua, RUU ini akan meningkatkan lingkungan perdagangan dan meningkatkan partisipasi perusahaan-perusahaan lokal dalam rantai nilai global yang bergantung pada impor dan ekspor.

Memberlakukan pendekatan berbasis risiko untuk perizinan impor dan ekspor dapat mengurangi biaya dan ketidakpastian perdagangan.

"Analisis Bank Dunia menunjukkan bahwa surat rekomendasi untuk mendapatkan setiap perizinan impor menelan biaya sebesar 6 sen untuk setiap dolar nilai impor," tulis laporan tersebut

Bank Dunia juga memandang upaya memindahkan otoritas untuk perizinan terkait perdagangan dari kementerian sektoral ke pemerintah pusat akan mengurangi diskresi kementerian dan peluang korupsi.

Ketiga, upaya menghilangkan proses penunjukan dari Menteri kepada lembaga-lembaga terakreditasi untuk melakukan penilaian kesesuaian dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat mempercepat dan mengurangi ketidakpastian proses sertifikasi SNI. Proses sertifikasi SNI diperkirakan akan meningkatkan biaya masukan untuk bisnis sebesar 21 persen.

Source : https://ekonomi.bisnis.com/read/20201009/9/1303045/duh-ternyata-bank-dunia-pernah-ingatkan-indonesia-soal-dampak-buruk-omnibus-law

DAMPAK NEGATIF

1. Kontrak tanpa batas (Pasal 59) 


    UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.


2. Hari libur dipangkas (Pasal 79) 

    

    Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


3. Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)


    UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.

Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".


4. Sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)


    Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.


5. Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)


    UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.

Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156. Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.


Source : https://jogja.tribunnews.com/2020/10/06/omnibus-law-isi-omnibus-law-cipta-kerja-dan-dampak-bagi-buruh


Comments